This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

04 January, 2010

TEORI EKOLOGI ( URIE BRONFENBRENNER )

TEORI EKOLOGI
( URIE BRONFENBRENNER )

Ada tiga tradisi besar orientasi teori psikologi dalam menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Pertama, perilaku yang disebabkan faktor dari dalam (deteministik). Kedua, perilaku yang disebabkan faktor lingkungan atau proses belajar. Ketiga, perilaku yang disebabkan interaksi manusia dengan lingkungan.
Psikologi lingkungan merupakan ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik, merupakan salah satu cabang psikologi yang tergolong masih muda. Teori-teori psikologi lingkungan dipengaruhi, baik oleh tradisi teori besar yang berkembang dalam disiplin psikologi maupun diluar psikologi. Grand Theories yang sering diaplikasikan dalam psikologi lingkungan seperti teori kognitif, behavioristik dan teori medan. Vcitch & Arkelin (1995) mengatakan bahwa belum ada grand theories psikologi tersendiri dalam psikologi lingkungan, yang ada sekarang ini dalam tatanan teori mini. Hal ini didasarkan pandangan, bahwa beberapa teori dibangun memang atas dasar empiris tetapi sebagian yang lain kurang didukung oleh data empiris. Kedua, metode penelitian yang digunakan belum konsisten.
Teori-teori yang berorientasi deterministik lebih banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena kognisi lingkungan. Dalam hal ini, teori yang digunakan adalah teori Gestalt. Menurut teori Gestalt, proses persepsi dan kognisi manusia lebih penting daripada mempelajari perilaku tampaknya (Overt Behaviour). Bagi Gestalt, perilaku manusia lebih disebabkan oleh proses-proses persepsi. Dalam kaitannya dengan psikologi lingkungan, maka persepsi lingkungan merupakan salah satu aplikasi teori Gestalt.
Teori yang berorientasi lingkungan dalam psikologi lebih banyak dikaji oleh behavioristik. Perilaku terbenttuk karena pengaruh umpan balik (pengaruh pposiitif dan negatif) dan pengaruh modelling. Digambarkan bahwa manusia sebagai black-box yaitu kotak hitam yang siap dibentuk menjadi apa saja. Dalam psikologi lingkungan teori yang berdasarkan lingkungan, salah satu aplikasinya adalah goegraphical determinant yaitu teori yang memandang perilaku manusia lebih ditentukan faktor lingkungan dimana manusia hidup yaitu apakah di daerah pesisir, pegunungan, ataukah daratan. Adanya perbedaan lokasi dimana tinggal dan berkembang akan menghasilkan perilaku yang berbeda.
Kedua orientasi teori tersebut bertentangan dalam menjelaskan perilaku manusia, orientasi ketiga merupakan upaya sintesa terhadap orientasi teori pertama dan kedua. Premis dasar dari teori ini mengatakan bahwa perilaku manusia selain disebabkan faktor lingkungan, juga disebabkan faktor internal. Artinya manusia dapat mempengaruhi lingkungan dan lingkungan dapat dipengaruhi manusia. Salah satu teori besar yang menekankan interaksi manusia dengan lingkungan dalm psikologi adalah teori medan dari Kurt Lewin dengan formula B = f (E,O). Dimana perilaku manusia merupakan fungsi dari lingkungan dan organisme. Berdasarkan premis dasar tersebut muncul beberapa teori mini dalam psikologi seperti teori beban lingkungan, teori hambatan perilaku,teori level adaptasi, stress lingkungan dan teori ekologi. Dalam pembahasan kali ini hanya ditekankan pada teori ekologi, khususnya teori ekologi berdasarkan pendapatnya Urie Bronfenbrenner (1917- 2005)
Ekologi adalah cabang sains yang mengkaji habitat dan interaksi di antara benda hidup dengan alam sekitar. Ekologi berasal dari oikos yaitu habitat dan logos yaitu ilmu. Kini, istilah ekologi telah digunakan secara meluas dan merujuk kepada kajian saling hubungan antara organisme dengan sekitar dan juga salinh hubungan di kalangan organisme itu sendiri. Penyelidikan ekologi biasanya menumpu pada jumlah organisme dan bagaimana saling mempengaruhi ciri dan sifat alam sekitar, juga pengaruh alam sekitar terhadap organisme tersebut.
Dalam psikologi teori ekologi dengan tokohnya Urie Bronfenbrenner yang berparadigma lingkungan menyatakan bahwa perilaku seseorang ( contoh perilaku malas belajar pada anak ) tidak berdiri sendiri, melainkan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya. Saat ini kita merasakan perubahan lingkungan dengan sangat cepat dan drastis disegala macam aspek. Para ilmuwan, setelah menganalisis situasi yang dahsyat di seluruh dunia menyimpulkan bahwa saat ini kita sedang memasuki era Postmodemism. Dalam zaman ini tidak ada lagi pusat-pusat kekuasaan. Tidak ada tokoh, aliran, partai politik, ideologi dan sebagainya yang mampu menonjol atau menonjol atau dominan dalam waktu yang cukup lama. Perubahan – perubahan ini mempengaruhi perkembangan seseorang. Adapun lingkungan diluar diri yang mempengaruhi pribadi seseorang terdiri dalam berbagai lingkaran yang berlapis-lapis.

Bronfenbrenner lahir pada tanggal 29 April 1917 di Moscow dan wafat pada 25 September 2005. Anak pasangan Dr. Alexander Bronfenbrenner & Eugenie Kamenetski Brofenbrenner ini pada usia 6 tahun hijrah ke America bersama keluarganya. Ayahnya seorang phisikawan dan neuropathologist yang bekerja pada Institution for the mentally Retarded di New York. Kurt Lewin dan Lev Vygotsky sering berkunjung kerumahnya dan berdiskusi tentang psykology. Pada tahun 1934 beliau mendapatkan beasiswa pada jurusan psikology di Universitas Cornell. Dari Universitas Cornell beliau melanjutkan gelar master dari Universitas Harvard dan pada tahun 1942 menerima gelar Doktor dari Universitas Michigan. Dua tahun setelah kelulusannya belaiau masuk Ke US. Army sebagai Phikolog dari tahun 1946 -1948 setelah itu ia pindah ke Universitas Cornell dan menulis beberapa buku disana. Sepanjang hidupnya ia sangat menyenangi psychology dalam interaksi antara perkembangan anak dengan lingkungan. Dia membagi perrkembangan dengan microsistem, mesosystem. Exosystem, macrosistem.
Urie Bronfenbrenner mempunyai enam anak : Beth Soll, Ann Stamber, Mary Bronfenbrenner, Michael, Kate and Steven Bronfenbrenner. Beth Soll tinggal di New York sebagai koreographer, dancer, penulis dan mengajar di Universitas Columbia. Ann Stamber psychiatri, Mary mengajar bahasa Jerman. Michael sebagai artist . Kate sebagai direktur riset tenaga kerja pendidikan dan Steven sebagai direktur administrasi di San Francisco.
Awards
• The James McKeen Catell Award from the American Psychological Society[2]
• The American Psychological Association renamed its "Lifetime Contribution to Developmental Psychology in the Service of Science and Society" as "The Bronfenbrenner Award."
• Chair, 1970 White House Conference on Children[3]


TEORI EKOLOGI

Teori ekologi berbeda dengan teori yang lain. Teori ekologi menempatkan tekanan yang kuat pada landasan perkembangan biologis. Teori ini mengajukan suatu pandangan bahwa lingkungan sangat kuat mempengaruhi perkembangan. Teori ekologi ( ecological theory) ialah pandangan sosio kultural tentang perkembangan yang terdiri dari lima sistem lingkungan mulai dari masukan interaksi langsung dengan agen-agen sosial (social agent) yang berkembang baik hingga masukkan kebudayaan yang berbasis luas. Kelima sistem dalam teori ekologi bronfenbrenner ialah mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dan kronosistem.
Mikrosistem (micrisystem) dalam teori ekologi Bronfebrenner ialah setting dalam mana individu hidup. Mikrosistem adalah yang paling dekat dengan pribadi anak yaitu meliputi keluarga, guru, individu, teman-teman sebaya, sekolah, lingkungan dan sebagainya yang sehari-hari ditemui anak. Dalam mikrositem inilah interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial berlangsung, misalnya; dengan orang tua, teman sebaya dan guru. Individu tidak dipandang sebagai penerima pengalaman yang pasif dalam setting ini, tetapi sebagai seseorang yang menolong membangun setting. Bronfrenbrenner menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak-dampak sosiokultural berfokus pada mikrosistem.
Mesosistem adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau beberapa konteks misal hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, gru-teman, dapat juga hubungan antara pengalaman sekolah dengan pengalaman keluarga, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan dan pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya. Misalnya anak-anak yang orang tuanya menolak mereka dapat mengalami kesulitan mengembangkan hubungan positif dengan guru. Para developmentalis semakin yakin pentingnya mengamati perilaku dalam setting majemukuntuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang perkembangan individu.
Eksosistem dalam teori Bronfenbrenner dilibatkan ketika pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain – dimana individu tidak memiliki peran yang aktif – mempengaruhi apa yang individu alami dalam konteks yang dekat. Atau sederhananya menurut eksosistem melibatkan pengalaman individu yang tak memiliki peran aktif di dalamnya. Misalnya, pengalaman kerja dapat mempengaruhi hubungan seorang perempuan dengan suami dan anaknya. Seorang ibu dapat menerima promosi yang menuntutnya melakukan lebih banyak perjalanan yang dapat meningkatkan konflik perkawinan dan perubahan pola interaksi orang tua-anak. Maka diketahui bahwa eksosistem tidak langsung menyentuh pribadi anak akan tetapi masih besar pengaruhnya seperti koran, televisi, dokter, keluarga besar, dll.

Makrosistem meliputi kebudayaan dimana individu hidup. Kita ketahui bahwa kebudayaan mengacu pada pola prilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Kita ketahui pula bahwa studi lintas budaya – perbandingan antara satu kebudayaan dengan satu atau lebih kebudayaan lain – memberi informasi tentang generalitas perkembangan. Makrosistem terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat istiadat, budaya, dll.

Kronosistem meliputi pemolaan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan sosiohistoris. Misal, dalam mempelajari dampak perceraian terhadap anak-anak, para peneliti menemukan bahwa dampak negatif sering memuncak pada tahun pertama setelah percaraian. Atau dengan mempertimbangkan keadaan sosiohistoris, dewasa ini, kaum perempuan tampaknya sangat didorong untuk meniti karier dibanding pada 20 atau 30 tahun lalu.

Teori ekologi ini mempelajari interelasi antar manusia dan lingkungannya. Ada 4 (empat) struktur dasar dalam konsep tersebut, yaitu sistem mikro, meso, exo dan makro (Bronfenbrenner dalam Berns, 1997). Sistem mikro adalah keluarga dan hubungan antara anggota keluarga. Apabila anak menjadi lebih besar dan bersekolah maka ia berada dalam sistem meso. Sistem exo adalah setting di mana anak tidak berpartisipasi aktif tetapi terkena pengaruh berbagai sistem seperti pekerjaan orang tua, teman dan tempat kerja orang tua serta berbagai lingkungan masyarakat lain. Sistem makro berbicara tentang budaya, gaya hidup dan masyarakat tempat anak berada. Semua sistem tersebut saling pengaruhmempengaruhi dan berdampak terhadap berbagai perubahan dalam perkembangan anak. Oleh karena itu, seluruh komponen sistem berpengaruh terhadap pengasuhan (nurturing) dan pendidikan anak secara holistik (Berns, R.M, 1997, 4 ed). Paradigma baru dalam pendidikan anak usia dini menekankan pada penanganan nurturing oleh semua pihak berkenaan dengan pertumbuhkembangan anak yang bersifat keutuhan jamak yang unik dan terarah. Dalam perkembangannya, anak mempunyai berbagai kebutuhan, yang perlu dipenuhi, yaitu kebutuhan primer yang mencakup pangan, sandang, dan ‘papan’ ; serta kasih sayang, perhatian, rasa aman, dan penghargaan terhadap dirinya sebagaimana teori kebutuhan dari Maslow (1978). Terpenuhinya kebutuhan tersebut akan memungkinkan anak mendapat peluang mengaktualisasikan dirinya, dan hal ini dapat menghadirkan pelatuk untuk mengembangkan seluruh potensi secara utuh. Pemenuhan kebutuhan dalam perkembangan ini banyak tergantung dari cara lingkungan berinteraksi dengan anak-anak. Perkembangan anak ditentukan oleh berbagai fungsi lingkungan yang saling berinteraksi dengan individu, melalui pendekatan yang sifatnya memberikan perhatian, kasih sayang dan peluang untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan taraf dan kebutuhan perkembangannya (Developmentally Appropriate Practice, Horowitz, dkk. 2005).

Senada dengan Bronfenbernner, Hawlwy dalam Himmam & Faturochman,1994 mengungkapkan bahwa perilaku manusia merupakan bagian dari kompleksitas ekosistem dengan beberapa asumsi dasar sebagai berikut :
1. Perilaku manusia terkait dengan konteks lingkungan
2. Interaksi timbal balik yang menguntungkan antara manusia dengan lingkungan
3. Interaksi manusia dengan lingkungan bersifat dinamis
4. Interaksi manusia dengan lingkungan terjadi dalam berbagai level dan tergantung pada fungsinnya.


Harus diakui bahwa menjadi orang tua atau pendidik jaman sekarang sangat sulit. Pertama, karena kebanyakan orang tua belum pernah mengalami situasi seperti sekarang ini dimasa kecilnya; kedua, karena kita cenderung meniru saja cara-cara mendidik yang dilakukan oleh orangtua kita; dan yang ketiga memang sangat sulit mengubah pola pikir seseorang dari pola pikir tradisional dan pola pikir alternatif sesuai dengan tuntutan zaman sekarang. Oleh karena itu para orang tua harus memahami teori ekologi untuk memberikan stimulasi yang tepat.
Dalam teori ekologi menurut Bronfenbrenner perkembangan interaksi manusia dengan lingkungan berada dalam lima sistem lingkungan yang penting, yaitu : mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem dan kronosistem. Dimana dalam kontinuitas/diskontinuitas ekologi memiliki perhatian yang kecil pada kontinuitas/diskontiunitas, dengan lebih menekankan pada perubahan daripada stabilitas. Faktor-faktor lingkungan sangat kuat mempengaruhi, dengan tanpa penekanan pada tinjauan kognisi. Hal ini berdasarkan pada berbagai metode penelitian, khususnya dalam menekankan pentingnya pengumpulan data dalam konteks sosial yang berbeda.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Avin Fadilla Helmi,. “Beberapa Teori Psikologi Lingkungan”. Buletin Psikologi.Tahun VII, No. 2 Desember 1999. 
  2. Santrock, John W. 1995. “Life–Span Develompment, Perkembangan Masa Hidup Jilid 1” Jakarta. Erlangga 
  3. www.des.emory.edu/mfp/302/302bron.PDF 
  4. www.new.cornelledu/stroies/se pt05/bronfenbrenner.ssl 
  5. www.human.cornell.edu/che/BLCC/

TEORI PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ERIK ERIKSON

TEORI PERKEMBANGAN
PSIKOSOSIAL ERIK ERIKSON
 by. kongkoh




“Man the un-known” (manusia adalah makhluk yang misteri) demikian di ungkapkan oleh Alexis Carel ketika menggambarkan ketidaktuntasan pencarian hakikat manusia oleh para ahli. Banyak ikhtiar akademis yang dilakukan oleh para ahli saat ingin memapar siapa sesungguhnya dirinya. Ilmu-ilmu seperti filsafat, ekonomi, sosiologi, antropologi juga psikologi dan beberapa ilmu lainnya adalah ilmu yang membahas tentang manusia dengan perspektif masing-masing.
Erik Erikson adalah salah satu diantara para ahli yang melakukan ikhtiar itu. Dari perspektif psikologi, ia menguraikan manusia dari sudut perkembangannya sejak dari masa 0 tahun hingga usia lanjut. Erikson beraliran psikoanalisa dan pengembang teori Freud. Kelebihan yang dapat kita temukan dari Erikson adalah bahwa ia mengurai seluruh siklus hidup manusia, tidak seperti Freud yang hanya sampai pada masa remaja. Termasuk disini adalah bahwa Erikson memasukkan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan tahapan manusia, tidak hanya sekedar faktor libidinal sexual.
A. Tentang Erik Erikson (1902-1994)
Erik Erikson lahir di Franfrurt Jerman, pada tanggal 15 Juni 1902 adalah ahli analisa jiwa dari Amerika, yang membuat kontribusi-kontribusi utama dalam pekerjaannya di bidang psikologi pada pengembangan anak dan pada krisis identitas. Ayahnya (Danish) telah meninggal dunia sebelum ia lahir. Hingga akhirnya saat remaja, ibunya (yang seorang Yahudi) menikah lagi dengan psikiater yang bernama Dr. Theodor Homberger.
Erikson kecil bukanlah siswa pandai, karena ia adalah seorang yang tidak menyenangii atmosfer sekolah yang formal. Ia oleh orang tua dan teman-temannya dikenal sebagai seorang pengembara hingga ia pun tidak sempat menyelesaikan program diploma. Tetapi perjalanan Erikson ke beberapa negara dan perjumpaannya dengan beberapa penggiat ilmu menjadikannya seorang ilmuwan sekaligus seniman yang diperhitungkan. Pertama ia berjumpa dengan ahli analisa jiwa dari Austria yaitu Anna Freud. Dengan dorongannya, ia mulai mempelajari ilmu tersebut di Vienna Psychoanalytic Institute, kemudian ia mengkhususkan diri dalam psikoanalisa anak. Terakhir pada tahun 1960 ia dianugerahi gelar profesor dari Universitas Harvard.
Setelah menghabiskan waktu dalam perjalanan panjangnya di Eropa Pada tahun 1933 ia kemudian berpindah ke USA dan kemudian ditawari untuk mengajar di Harvad Medical School. Selain itu ia memiliki pratek mandiri tentang psiko analisis anak. Terakhir, ia menjadi pengajar pada Universitas California di Berkeley, Yale, San Francisco Psychoanalytic Institute, Austen Riggs Center, dan Center for Advanced Studies of Behavioral Sciences.
Selama periode ini Erikson menjadi tertarik akan pengaruh masyarakat dan kultur terhadap perkembangan anak. Ia belajar dari kelompok anak-anak Amerika asli untuk membantu merumuskan teori-teorinya. Berdasarkan studinya ini, membuka peluang baginya untuk menghubungkan pertumbuhan kepribadian yang berkenaan dengan orangtua dan nilai kemasyarakatan.
Keinginannya untuk meneliti perkembangan hidup manusia berdasarkan pada pengalamannya ketika di sekolah. Saat itu anak-anak lain menyebutnya Nordic karena ia tinggi, pirang, dan bermata biru. Di sekolah grammar ia ditolak karena berlatar belakang Yahudi.
Buku pertamanya adalah Childhood dan Society (1950), yang menjadi salah satu buku klasik di dalam bidang ini. Saat ia melanjut pekerjaan klinisnya dengan anak-anak muda, Erikson mengembangkan konsep krisis perasaan dan identitas sebagai suatu konflik yang tak bisa diacuhkan pada masa remaja. Buku-buku karyanya antara lain yaitu: Young Man Luther (1958), Insight and Responsibility (1964), Identity (1968), Gandhi's Truth (1969): yang menang pada Pulitzer Prize and a National Book Award dan Vital Involvement in Old Age (1986).
B. Tahap Perkembangan Hidup Manusia
Apakah perkembangan psikososial itu?
Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
  • Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan
  • Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
  • Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
  • Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
  • Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun
  • Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
  • Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
  • Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
  • Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
  • Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
  • Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
  • Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
  • Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
  • Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
  • Terjadi pada usia 6 s/d pubertas.Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka. 
  • Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya. Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
  • Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru.
  • Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
  • Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
  • Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
  • Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun
  • Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
  • Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
  • Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
  • Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.
  • Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
  • Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
  • Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
  •  Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
  •  Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain.
  • Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
  • Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
  • Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
  • Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
  • Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga.
  • Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
  • Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
  • Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun)
  • Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
  • Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan.
  • Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
  • Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.
  •  Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
C. Perbandingan Sigmudn Freud
Erikson adalah pengembang teori Freud dan mendasarkan kunstruk teori psikososialnya dari psiko-analisas Freud. Kalau Freud memapar teori perkembangan manusia hanya sampai masa remaja, maka para penganut teori psiko-analisa (freudian) akan menemukan kelengkapan penjelasan dari Erikson, walaupun demikian ada perbedaan antara psikosexual Freud dengan psikososial Erikson. Beberapa aspek perbedan tersebut dapat dilihat di bawah ini:

Freud
Erikson
  • Perenan/fungsi id dan ketidaksadaran sangat penting
  • Peran/fungsi ego lebih ditonjolkan, yang berhubungan dengan tingkah laku yang nyata.
  • Hubungan segitiga antara anak, ibu dan ayah menjadi landasan yang terpenting dalam perkembangan kepribadian.
  • Hubungan-hubungan yang penting lebih luas, karena mengikutsertakan pribadi-pribadi lain yang ada dalam lingkungan hidup yang langsung pada anak. Hubungan antara anak dan orang tua melalui pola pengaturan bersama (mutual regulation).
  • Orientasi patologik, mistik karena berhubungan dengan berbagai hambatan pada struktur kepribadian dalam perkembangan kepribadian.
  • Orientasinya optimistik, kerena kondisi-kondisi dari pengaruh lingkungan sosial yang ikut mempengaruhi perkembang kepribadian anak bisa diatur.
  • Timbulnya berbagai hambatan dalam kehidupan psikisnya karena konflik internal, antara id dan super ego.
  • Konflik timbul antara ego dengan lingkungan sosial yang disebut: konflik sosial.



Daftar Pustaka :
Jhon W. Santrock.1995. Life-Span Development, 13th Edition University of Texas at Dallas, 1995
Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangan Anak, Gunung Mulia, Jakarta, 1990
Sarlito W Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta, 2002


TEORI-TEORI ETOLOGI

TEORI-TEORI ETOLOGI


Etologi adalah studi mengenai tingkah laku hewan dan manusia dalam konteks evolusi. Tokoh-tokoh teori etologi adalah Charles Darwin, Bowlby, Konrad Lorenz dan Niko Tindbergen. Istilah “etologi” diturunkan dari bahasa Yunani, sebagaimana ethos (ήθος) ialah kata Yunani untuk "kebiasaan".

Teori seleksi alam (Darwin, 1859)
Darwin berpendapat bahwa tidak ada sifat baru yang perlu dimiliki semasa hidup individu. Pada dasarnya, teori Darwin berjalan sebagai berikut : diantara anggota-anggota sebuah spesies, terdapat variasi yang tak tehitung jumlahnya dan diantara anggota yang bermacam-macam itu hanya kelompok tertentu yang berhasil bertahan hidup yang bisa menghasilkan keturunannya.Dengan demikian terdapat ‘perjuangan untuk bertahan hidup’ dimana anggota-anggota tebaik sebuah spesies dapat hidup cukup panjang untuk meneruskan sifat unggul mereka kepada generasi berikutnya. Terhadap jumlah generasi yang tak terhitung jumlahnya itu, alam kemudian ‘memilih’ siapa-siapa yang bisa beradaptasi paling dengan lingkungan mereka. Menurut Darwin, Istilah ‘perjuangan untuk bertahan hidup’ (survival for the existence) adalah yang unggul yang bisa bertahan hidup (survival of the fittest).

Etologi Modern ( Lorenz dan Tindbergen)
Etologi modern lahir sebagai suatu pandangan penting karena pekerjaan para pakar ilmu hewan Eropa, khususnya Konrad Lorenz (1903-1989). Etologi menekankan bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh biologi, terkait dengan evolusi dan ditandai oleh periode penting atau peka. Konsep periode penting (critical period), adalah suatu periode tertentu yang sangat dini dalam perkembangan yang memunculkan perilaku tertentu secara optimal. Konsep etologi untuk belajar dengan cepat dan alamiah dalam satu periode waktu yang kritis yang melibatkan kedekatan dengan obyek yang dilihat bergerak pertama kali.
Para Etologis adalah para pengamat perilaku yang teliti, dan mereka yakin bahwa laboratorium bukanlah setting yang baik untuk mengamati perilaku. Mereka mengamati perilaku secara teliti dalam lingkungan alamiahnya seperti : di rumah, taman bermain, tetangga, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Pendekatan Metodologis (Pendekatan yang memahami tingkah laku dengan setting yang alamiah) Langkah–langkahnya :
1. Mengetahui informasi tentang spesies tersebut sebanyak mungkin,
2. Mengamati tingkah laku khasnya,
3. Membandingkan dengan tingkah laku spesies yang lain.

Tingkah laku Instingtif
Adalah tingkah laku yang tidak pernah dipelajari dan muncul karena stimulus eksternal tertentu. Pola tindakan tertentu juga memiliki komponen pendorong dasariah, sebuah desakan dari dalam untuk terlibat dalam tingkah laku instingtif. Contohnya : tindakan penyelamatan diri anak ayam oleh induknya karena dapat merespon kapanpun jika anak-anaknya berada dalam bahaya.

Pandangan Etologis mengenai perkembangan anak
Teori Bowlby ( Teori Kelekatan)
Bowlby (Hetherington dan Parke, 1999) dipengaruhi oleh teori evolusi dalam observasinya pada perilaku hewan. Menurut teori Etologi (Berndt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak namun juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku. Bowlby (Hetherington dan Parke,1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutuality attachment).Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding” yaitu hubungan atau ikatan psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama sepanjang rentang hidup dan berkonotasi dengan kehidupan sosial (Bowley dalam Hadiyanti,1992).Bowlby menyatakan bahwa kita dapat memahami tingkah laku manusia dengan mengamati lingkungan yang diadaptasinya yaitu : lingkungan dasar tempat berkembang.Dalam kehidupannya seringkali manusia menghadapi ancaman, untuk mendapat perlindungan, anak-anak memerlukan mekanisme untuk menjaga mereka dan dekat dengan orangtuanya dengan kata lain mereka harus mengembangkan tingkah laku kelekatan (attachment).
Fase-fase kelekatan :
1. Lahir sampai 3 bulan (respon tak terpilah kepada manusia),
2. 3 sampai 6 bulan (fokus pada orang-orang yang dikenal),
3. 6 bulan sampai 3 tahun (kemelekatan yang intens dan pencarian kedekatan yang aktif),
4. 3 tahun sampai akhir masa kanak-kanak (tingkah laku persahabatan).


Kelekatan sebagai pencetakan
kelekatan anak mengikuti arah yang serupa dengan proses pencetakan (imprinting) pada hewan. Pencetakan adalah proses dimana hewan belajar stimuli pemicu untuk melepaskan insting-insting sosial mereka.
Pada manusia, kita dapat mengamati proses serupa, meskipun berkembang sangat lambat. Selama minggu-minggu pertama hidupnya bayi tidak bisa secara aktif mengikuti objek lewat keinginan mereka sendiri melainkan hanya melakukan respon sosial langsung kepada orang-orang. Namun, sejak usia 3 bulan mereka mulai mempersempit kemelekatan mereka hanya kepada beberapa orang, dan akhirnya pada satu orang saja.

Pola-pola kelekatan menurut Mary Ainsworth
Menurut Ainsworth (dalam Belsky, 1988) hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh ditahun-tahun awal kehidupannya. Intinya adalah kepekaan ibu dalam memberikan respon atas sinyal yang diberikan bayi, sesegera mungkin atau menunda, respon yang diberikan tepat atau tidak.
Kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus. Hubungan yang dibina akan bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak. Sebagian besar anak telah membentuk kelekatan dengan pengasuh utama (primary care giver) pada usia sekitar delapan bulan dengan proporsi 50% pada ibu, 33% pada ayah dan sisanya pada orang lain (Sutcliffe,2002).Kelekatan bukanlah ikatan yang terjadi secara alamiah. Ada serangkaian proses yang harus dilalui untuk membentuk kelekatan tersebut.
Dalam hal ini Ainsworth bersama rekannya mengamati kemunculan tiga pola dasar :
  1. bayi-bayi yang tetap merasa aman,bayi yang akan merasa aman dan akan mengeksplorasi ruangan bermain selama ibunya tetap berada disampingnya 
  2. bayi-bayi yang tidak merasa aman dan ingin menghindar,bayi yang menunjukkan pola ini terlihat cukup independen selama menjalani situasi asing. Segera setelah melihat ruangan bermain langsung mengeksplorasi mainan yang ada. 
  3. bayi-bayi yang tidak merasa aman namun bersikap ambivalen,dalam situasi asing, bayi-bayi model ini begitu lengket dengan ibunya kemanapun ibunya pergi dan tidak mau mengeksplorasi ruang bermain.
Anak yang memiliki orang tua yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Selanjutnya secara simultan anak akan mengembangkan model yang paralel dalam dirinya.
Anak dengan orang tua yang mencintai akan memandang dirinya “berharga”. Model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orang tua pada orang lain, misalnya pada guru dan teman sebaya. Anak akan berpendapat bahwa guru dan teman adalah orang yang dapat dipercaya. Sebaliknya anak yang memiliki pengasuh yang tidak menyenangkan akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial.

Perkembangan etologi
Melalui karya Lorenz dan Tinbergen, etologi berkembang secara kuat di benua Eropa dalam tahun-tahun sebelum PD II. Setelah perang, Tinbergen pindah ke Universitas Oxford, dan etologi menjadi lebih kuat di Britania Raya, dengan pengaruh tambahan dari William Thorpe, Robert Hinde dan Patrick Bateson pada Sub-bagian Perilaku Hewan dari Universitas Cambridge, terletak di desa Madingley. Di masa ini, juga, etologi mulai berkembang secara kuat di Amerika Utara. Lorenz, Tinbergen, dan von Frisch secara bersama-sama dianugerahi Hadiah Nobel pada 1973 untuk karya mereka dalam etologi pengembangan.

Ethologi sosial dan pengembangan terkini
Pada 1970, etolog Inggris John H. Crook menerbitkan naskah penting yang mana ia membedakan etologi komparatif dengan etologi sosial, dan mengemukakan bahwa banyak dari etologi yang telah ada sampai kini sesungguhnya merupakan etologi komparatif, memandang hewan sebagai individu, sedangkan di masa depan, para etolog akan memerlukan konsentrasi pada perilaku kelompok sosial dari hewan dan struktur sosial di dalamnya. Ini telah mengetahui sebelumnya. Buku E. O. Wilson ‘’Sosiobiologi’’ muncul pada 1975, dan sejak saat itu studi perilaku telah lebih banyak berkaitan dengan aspek sosial. Juga telah didorong dengan yang lebih kuat, namun lebih sulit, Darwinisme yang dihubungkan dengan Wilson dan Richard Dawkins. Pengembangan terkait ekologi perilaku juga telah membantu mengubah etologi. Di saat yang sama persesuaian substansial dengan psikologi komparatif telah terjadi, maka studi ilmiah modern pada perilaku menawarkan spektrum pendekatan tanpa kelim secara kurang lebih, dari kesadaran hewan, psikologi komparatif yang lebih tradisional, etologi, sosiobiologi dan ekologi perilaku.


Daftar Pustaka

  1. Santrock, John W. (2002). Life-Span Development. Dallas. University of Texas. 
  2. Belsky, J. (Ed) (1988). Infancy, Childhood and adollescene. Clinical Implication of Attachment. Lawrence Erlbaum Associate 
  3. Ervika, Eka, (2000). Kualitas Kelekatan dan Kemampuan Berempati pada Anak. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada 
  4. Crain, William. (2007). Teori Perkembangan : Konsep dan Aplikasi. Pustaka Pelajar

TEORI KONSTRUKTIVISME


-->
TEORI KONSTRUKTIVISME


I. Gambaran Umum Teori Konstruktivisme
Kontrustivistik merupakan suatu teori tentang pengetahuan dan pembelajaran (knowledge and learning); pengetahuan dan pembelajaran menggambarkan dua hal yaitu apakah pengetahuan itu dan bagaimana pengetahuan itu datang? Teori konstruktivistik mementingkan tiga aspek yaitu adaptasi sebagai ganti dari penggambaran yang berasal dari biologi yaitu hubungan antara kehidupan organisme dengan lingkungannya, kedua adalah pemahaman pada lingkungan , dalam model ini lingkungan lingkungan mempunyai makna yang jelas yaitu ketika berbicara pada diri sendiri, maka lingkungan mengacu kepada pengalaman, sedangkan pengalaman apabila perhatian kita pada unsur khusus, maka lingkungan mengacu pada lingkungan sekitar. Aspek ketiga adalah hubungan makna, dimana konstruktivistik lebih berorientasi pada pembentukan makna apabila hal ini dikaitkan dengan pembelajaran adalah bagaimana menstransfer makna kepada peserta didik.
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan. Tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan teori ini adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif kearah perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena adanya informasi baru yang diterima melalui proses ketidak seimbangan (dissequillibrium). Selain itu mereka juga menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan pegubahan secara konseptual. (Baharuddin, 2007:117)
Walaupun keduanya merupakan tokoh pada aliran konstruktivisme, namun Piaget dan Vygotsky pada prinsipnya memiliki beberapa perbedaan karakteristik. Piaget menyatakan proses pembelajaran bersifat internal sedangkan Vygotsky menyatakan bersifat external. Menurut Piaget, proses pendewasaan dalam diri menjadi faktor utama yang mempengaruhi proses pembelajaran siswa sedangkan Vygotsky lebih mengutamakan faktor dunia luar. Vygotsky menyatakan pengetahuan dibangun siswa dalam konteks budaya dan atas dasar interaksinya dengan teman sebaya atau faktor eksternal yang lain. Vygotsky menyatakan bahwa konsep tidak bisa dibangun tanpa melakukan suatu interaksi sosial (Howe, 1996 : 42).
II. Pemikiran-Pemikiran Vygotsky
Lev Vygotsky(1893-1934) adalah seorang psikolog Rusia yang sering dipandang sebagai a social (atau a sociocultural) constructivist. Ada banyak kemiripan antara teori piaget dan vygotsky, salah satunya adalah tentang cara belajar yang efektif melalui praktek nyata, anak-anak akan lebih mudah memahami konsep-konsep baru ketika mereka mencoba memecahkan satu masalah dengan objek konkrit, menurut vygotsky perkembangan intelektual anak mencakup bagaimana mengkaitkan bahasa dengan pikiran. Pada awal perkembangan anak antara bahasa dan pikiran tidak ada keterkaitan misalnya seorang bayi yang mengoceh tanpa memikirkan akibat ocehannya dan lain-lain.
Vygotsky menekankan besarnya pengaruh sosial budaya pada perkembangan anak. Artinya peranan lingkungan sosial dimana anak itu berkembang, dan interaksi yang terjadi di dalamnya sangat mendukung pekembangan sosial anak. Selain itu ia juga memperhatikan dua faktor penting dalam perkembangan anak, yaitu pembawaan dan pengasuhan, keduanya saling berinteraksi satu sama lain. Ia membedakan dua fungsi mental yaitu rendah dan tinggi. Fungsi mental rendah yaitu; sensasi, reaksi perhatian, ingatan spontan dan kecerdasan sensori motor. Menurut Vygotsky bahwa kemampuan mental manusia dapat disamakan dengan hewan, dan itu berasal dari faktor bawaan. Fungsi mental rendah mula-mula hanya bergantung pada proses perkembangan. Fungsi mental tinggi adalah pemerolehan pengetahuan melalui belajar dan pengajaran, seperti: persepsi, perhatian, ingatan dan logika berfikir. (Sofia Hartati, 2005: 70)
Terkait dengan fungsi mental tingkat tinggi, secara bertahap seorang anak mulai mengaitkan antara bahasa dengan pikiran . pada usia SD ia akan memakai bahasa dalam proses belajar. Misalnya pengertian tentang ukuran akan bertambah dengan pemakaian kata kecil, lebih kecil, paling kecil, dsb.
Menurut Vygotsky adalah hal yang wajar jika seorang anak usia 5 tahun berbicara sendiri ketika sedang mempelajari sesuatu karena ini akan memvbantunya untuk lebih mudah mengerti, semakin sulit subjek yang sedamng dipelajari anak semakin sering anak-anak berbicara sendiri untuk mengerti apa yang sedang dipelajari bahkan hal ini masih terjadi juga pada orang dewasa ketika sedang mempelajari sesuatu yang rumit walaupun berbicara di dalam hati. Menurut vygotsky penggunaan bahasa bukan sekedar untuk alat berekspresi tapi juga alat Bantu yang efektif dalam proses belajar
Vygotsky juga memberikan ide praktis bagaimana meningkatkan perkembangan intelektual anak sehingga anak dapat berpikir mandiri. Misalnya ketia seorang anak sedang mengerjakan sesuatu yang mampu ia kerjakan sendiri sebaiknya guru maupun orang tua jangan membantunya, namun apabila yang dipelajarinya sulit guru harus memberikan arahan dan mendorong anak untuk berpikir.
Vygotsky memperkenalkan Zona of development (zo-ped). Vygotsky used the term "zo-ped", zona of oroximal development, to describe the place where a child,s spontaneous concepts meet the "syatematicy and logic adult reasoning" yaitu bahwa anak lahir mempunyai rentangn kemampuan persepsi, kemampuan memori yang ditransformasikan dalam konteks social dan pendidikan melalui hokum social, sarana, kebudayaan tertentu menjadi fungsi psycologis kognisi tinggi. Zo-ped yaitu suatu tingkat perkembangan actual yang sifatnya belum jadi, masih berupa potensi. Tingkat perkembangan potensial ditumbuhkan melalui "scaffolding instruction" yaitu pembelajaran yang berjenjang. Scaffolding instruction menganut tiga prinsip yaitu: holistic meaningfull, konteks social yang ekuivalen dengan belajar, dan peluang berubah dan berhubungan.
Konsep Belajar Konstrutivisme Vygotsky
Salah satu konsep dasar pendekatan konstrutivisme dalam belajar menurut Vygtsky adalah adanya interaksi social individu dengan lingkungannya. Menurutnya, belajar adalah sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama, belajar merupakan proses secara biologis sebagai proses dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial budaya. Sehingga, lebih lanjut ia menyatakan, munculnya prilaku seseorang adalah karena intervening kedua elemen tersebut. (Baharuddin dan Esa Nurwahyuni, 2007:124)
Pada saat seseorang mendapatkan stimulus dari lingkungannya, ia akan menggunakan fisiknya berupa alat indranya untuk menangkap atau menyerap stimulus tersebut, kemudian dengan menggunakan saraf otaknya informasi yang telah diterima tersebut diolah. Keterlibatan alat indra dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam menyerap informasi yang diperoleh merupakan proses secara fisik dan psikologi sebagai elemen dasar dalam belajar.
Pengetahuan yang telah ada sebagai hasil dari proses elemendasar ini akan lebih berkembang ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya mereka. Oleh karena iti, ia sangat menekankan pentingnya peran interaksi sosial bagi perkembangan belajar seseorang.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses penyesuaian itu equivalen dengan pengkonstruksian pengetahuan secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual (Sheffer, 1996 : 274 - 275). Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah : (1) mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zone of proximal development. Guru sebagai mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi (Dixon-Kraus, 1996 : 8).
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zone of proximal development mereka. Zone of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Shaffer, 1996 : 274 - 275).
Teori Vygotsky yang lain adalah scaffolding. Scaffolding berarti memberikan kepada seorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding berarti upaya guru untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai suatu keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum (Vygotsky, 1978 :5).
Scaffolding Sebagai Bagian dari Teori Konstruktivisme Modern
scaffolding adalah suatu istilah dalam dunia pendidikan yang merupakan pengembangan teori belajar konstruktivisme modern. Scaffolding pertamakali disebut sebagai istilah dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan anak usia dini oleh Vygotsky (1846). Dalam pendidikan usia dini, scaffolding mengambil peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran di setiap aspek menuju pada pencapaian tahap perkembangan anak (child development). Setiap kali seorang anak mencapai tahap perkembangan yang ditandai dengan terpenuhinya indikator dalam aspek tertentu, maka anak membutuhkan scaffolding. Vygotsky (1962) menuliskan bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi saat anak-anak mengerjakan puzzle, membangun miniature bangunan, mencocokkan gambar dan tugastugas pelajaran lainnya. Saat interaksi belajar berlangsung, scaffolding kadang dibutuhkan secara bersamaan dan terintegrasi dalam aspek fisik, intelektual, seni dan emosional.
Kebalikan dari scaffolding adalah interferensi. Seringkali langsung muncul keinginan orang dewasa baik guru maupun orang tua untuk dating membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya. Akibatnya, bantuan malah menginterferensi proses pembelajaran anak. Keinginan tersebut sesungguhnya wajar dan natural, karena selain ungkapan kasih sayang, juga merupakan ungkapan kekhawatiran orang dewasa terhadap anak. Namun, dengan porsi yang tepat, tidak akan menjadi interferensi dan tidak akan merebut peran scaffolding yang lebih dibutuhkan anak.
Telah kita ketahui bahwa teori belajar konstruktivisme modern secara umum menyatakan bahwa siswa harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi yang kompleks kemudian mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi. Dengan demikian guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan siswa harus membangun pengetahuan ini di dalam benaknya sendiri. Guru hanya membantu proses ini dengan caracara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa; sedemikian hingga siswa mampu menarik kesimpulan untuk menerapkan sendiri ide-ide.
Khusus terhadap pendidikan anak usia dini teori konstruktivisme modern oleh Vygotksy dibagi dalam tiga tahap yaitu:
  1. Tahap Zona Perkembangan Terdekat Zona perkembangan terdekat atau Zone of Proximal Development (ZPD) yaitu suatu ide bahwa anak usia dini belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. A range tasks too difficult for the child to do alone but possible with help of adults and more skilled peers (Berk, 2006). The zone of proximal development is the Vygotskian concept that defines development as the space between the child’s level of independent performance and the child’s level of maximally assisted performance (Bodrova &Leong, 1996; Vygotsky, 1978). Artinya, suatu jarak antara keterampilan yang sudah dimiliki oleh anak dengan keterampilan baru yang diperoleh dengan bantuan dari orang dewasa (adult/care giver/parents/teacher) atau orang yang terlebih dahulu menguasai keterampilan tersebut (knowledgeable person/peer/siblings). Zona ini hadir di tengah lingkungan dengan fitur yang sekaya mungkin sehingga memberikan kesempatan melimpah bagi anak untuk membangun konsep dan internalisasi pemahaman dalam dirinya tentang berbagai hal. Artinya, bila lingkungan di sekitar anak mampu menghadirkan sekaya mungkin fitur tentang berbagai hal, maka anak memperoleh rangsangan yang kuat untuk mempelajari suatu konsep bagi pemahamannya dengan cara terbaik.
  2. Tahap Pemagangan Kognitif Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship adalah suatu istilah untuk proses pembelajaran dimana guru menyediakan dukungan kepada anak usia dini dalam bentuk scaffold hingga anak usia dini berhasil membentuk pemahaman kognitifnya. Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship juga merupakan suatu budaya belajar dari dan di antara teman sebaya melalui interaksi satu sama lain sehingga membentuk suatu konsep tentang sesuatu pengalaman umum dan kemudian membagikan pengalaman membentuk konsep tersebut di antara teman sebayanya (Collins, Brown, and Newman 1989). Wilson and Cole (1994) mendeskripsikan ciri khas pemagangan kognitif yaitu “ heuristic content, situated learning, modeling, coaching, articulation, reflection, exploration, and order in increasing complexity”.
  3. Scaffolding atau mediated learning Yaitu dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran konstruktivisme modern. Scaffolding is adjusting the support offered during a teaching session to fit the child’s current level of performance ”. Scaffolding sebagian besar ditemukan dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orang yang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya dicapai oleh anak usia dini. (Upi Isabella : 2007)




Daftar Pustaka
Ratna Megawangi, dkk, Pendidikan Yang Patut dan Menyenangkan, (Bogor: Indonesia Heritage Foundation) 2005.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media) 2007
Anisa Basleman, Pembelajaran Konstruktivisme (makalah)
Upi Isabela, Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini, Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Sofia Hartati, Perkembangan Belajar PAUD, (Jakarta: Depdiknas) 2005