13 August, 2016

Full Day School

Full Day School
by. Icam Sutisna


Pada kesempatan kali ini saya akan berusaha menulis tentang isu hangat yang sedang diperbincangkan dimasyarakat mengenai sekolah sehari penuh (full day school). Untuk mempersingkat penulisan, istilah sekolah sehari penuh (full day school) saya singkat menjadi FDS. Munculnya ide FDS ini bermula dari idenya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru diangkat oleh Presiden Jokowi sebagai pengganti Anis baswedan yaitu Mundjir Efendy. Munculnya ide FDS yang dikemukan menteri tersebut tentu tidak berdiri sendiri, artinya ide tersebut Ia kemukakan dalam rangka mendukung program Nawacita yang selama ini diusung oleh presiden Jokowi. Setidaknya itu yang saya tangkap dari berbagai informasi yang beredar di media berita yang ada sampai saat ini. Ide FDS ini diharapakan dapat mendukung program Nawacita melalui media Pendidikan dengan harapan dapat merubah atau membentuk karakater anak bangsa menjadi lebih kokoh berdasarkan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat Indonesia.

Namun sayang baru saja ide tersebut diutarakan ke khalayak sudah menimbulkan polemik didalam masyarakat. Saya mengamati ada tiga kelompok masyarakat yang terlibat polemik dari gagasan FDS ini, yaitu: Pertama kelompok yang tidak setuju. Kalau saya perhatikan kelompok ini cukup banyak suaranya, mereka ini datang dari berbagai lapisan masyarakat. Banyak artikel yang mereka tulis diberbagai media berita online untuk menyatkan ketidak setujuannya atas ide FDS tersebut, dengan berbagai dasar mereka kemukakan kelemahan sistem FDS apabila diterpakan diantaranya yaitu semakin terbatasnya orang tua untuk berinteraksi secara langsung dengan anak, karena waktu anak dihabiskan disekolah. Kedua kelompok yang setuju. Pada kelompok ini saya belum menemukan artikel yang membahas berbagai dasar mereka menyetujui ide FDS tersebut, namun saya hanya menemukan tulisan secara viral namun itu hanya sekedar memberikan komparasi dengan sistem pendidikan yang sudah ada, misalanya sistem pendidikan di Pesantren yang notabene menerapakan FDS atau bahkan 24 jam aktifitas siswa diatur melalui kurikulum sekolah. Ketiga kelompok yang setuju tetapi dengan syarat. Nah kelompok ini memberikan isyarakat kesetujuannya atas ide FDS tetapi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, misalnya fasilitas pendidikan yang harus diperbaiki, anggaran pendidikan kesekolah perlu diperhatikan, gaji guru juga perlu diperhatikan. Untuk sebagian kalangan kelompok ketiga ini menyebutukan pendidikan sudah seperti adanya transaksional.

Ketiga kelompok masyarakat yang saya kemukakan diatas terkait tanggapanya terhadap ide FDS, menurut saya hal yang wajar karena setiap masing-masing individu mempunyai cara berpikir dan cara pandang yang berbeda-beda sesuai dengan kadar pengalamanya. Bagi yang kontra tentu bagi dia ide FDS tersebut tidak baik karena masih ada cara lain yang dapat digunakan untuk membentuk karakter anak bangsa. Bagi yang setuju ia menganggap ide tersebut bukan hal  yang baru karena pengalamanya di lingkungan yang menerapakan sistem FDS selama ini tidak ada permasalahan.

Lalu bagaimana pendapat saya tentang FDS pro atau kontra? pada kesempatan ini saya tidak akan masuk wilayah pro atau kontra terhadap ide tersebut. Menurut saya bukan hal yang subtantif mendukung atau tidak ide FDS. Soalnya semua orang akan berpandangan yang beragam tentang hal tersebut dengan alasan seperti yang saya kemukakan diatas. Menurut saya yang terpenting harus dilihat adalah ide dasar munculnya gagasan tersebut, berdasarkan informasi yang saya ketahui dari berbagai media ide tersebut muncul untuk memujudkan Nawacita yang diusung Presiden Jokowi. Merubah dan membentuk karakter anak bangsa itu orientasinya.

Pembentukan karakter bangsa melalui penanaman nilai-nilai terhadap anak disekolah (bersambung........)





0 comments: